Gunung Marapi 2891 & Pantai Air Manis


Gunung Marapi ini yang memiliki ketinggian 2891 meter dari permukaan laut & Pantai Air Manis tempat si Malin Kundang bersujut memohon ampun ibundanya mungkin bisa dikatakan asal mula saya mulai mendokumentasikan perjalanan demi perjalanan setelah sebelumnya kebanyakan tidak pernah didokumentasikan dengan baik. Tulisan ini kemungkinan akan banyak cacatnya mengingat tidak semua detail dapat saya ingat.




Suatu hari, teman saya namanya Adji main ke Padang dalam rangka satu dan lain hal. Tidak lupa sebagai pelancong, tidak lupa lah dia menyapa saya yang kebetulan sedang berada di Padang juga waktu itu. Bingung mau kemana, tiba-tiba kita ingat kalau Sumatera Barat punya si Gunung Marapi yang sangat menarik untuk didaki pada saat itu. Tanpa pikir panjang, tanpa peralatan mumpuni, tanpa banyak cingcong, saya langsung hubungi tambahan teman, Deo a.k.a Radityo Tri Saputra, dan kita bertiga langsung merencanakan pergerakan ke Koto Baru, Padang Panjang tempat kita akan memulai pendakian. Subuh kita sudah berangkat dari Padang, dan sampai di Koto Baru jelang matahari terbit. Ijin parkir di MAN Koto Baru, kita mulai mencari info trek pendakian ke warung dan penduduk sekitar.

Pendakian kita mulai kalau tidak salah ingat pukul 08.30 pagi hari setelah sarapan, dan membeli perbekalan selama di perjalanan. Kalau diingat-ingat, kita masih pada "hijau" di dunia pendakian gunung. Perlengkapan seadanya, jaket seadanya, bahkan tidak ada satupun yang bawa salah satu perlengkapan vital pendakian, senter! (tolong bagian ini jangan dibilang kampungan. ini hanya ketidaktahuan kami tentang bagaimana cara mendaki yang aman dan nyaman, yang pasti kita tidak nyampah dan coret-coret batu).

Pasanggrahan
Kita bergegas menuju pemancar sebagai patokan awal pendakian. Masih pagi, cuaca cerah saat itu dan sebatang rokok terselip di tangan untuk gaya-gayaan. Pemancar terlewati, masuk ke sebuah pos yang waktu itu dikenal dengan nama Pasanggrahan yang berada beberapa saat sesudah mulai memasuki kawasan rapat pepohonan. Beberapa kali kita berpapasan dengan pendaki lain yang turun dan saling bertegur sapa. Sapaan khas para pendaki di daerah ini adalah "Pak, Bu". Mau besar kecil tetap akan disapa seperti itu.

Pos 3
Pos 2 kita lewati hanya untuk minum dan istirahat, lanjut kita berhenti lagi di Pos 3 dengan mulut kekeringan karena mulai kekurangan air. Di pos tersebut kita bertemu kembali rombongan yang akan naik dan dari sana lah kami mendapat informasi sumber air sekitar 10 menit menuruni jalan setapak di samping jalur pendakian utama, dan masalah air terbantu berkat itu.

Dari sini mulai timbul keraguan. Di awal pendakian kami hanya sepakat tidak perlu sampai puncak. Tapi saat sudah jelang pos Pintu Angin menuju Cadas, godaan menuju puncak terasa kuat sekali. Tanpa berpikir lagi kami memutuskan untuk naik terus ke atas ke puncak yang ditemani gerimis kecil sepanjang perjalanan.

Pintu Angin - Cadas
Namanya menarik, pintu angin. Ternyata memang gerbang menuju area yang banyak anginnya. Selepas pintu angin kami mulai masuk daerah terbuka dengan batuan vulkanis yang tajam-tajam, daerah cadas. Angin kencang, jaket lembab dan sebagian sudah basah, dan kedinginan tidak membuat kami berpikir ulang untuk membatalkan atau melanjutkan perjalanan. Kami tetap melangkah menuju puncak mengikuti langkah para pendaki lain di depan kami.

End of Cadas
Melewati Cadas, sampailah kami di area puncak ditandai dengan melewati Tugu Abel. Tugu Abel semacam tugu untuk mengenang pendaki yang meninggal di kawasan puncak Marapi. Kawasan puncak marapi lumayan luas dan bisa dipakai untuk main sepak bola mungkin ya. Tapi sayangnya kabut tebal, angin lumayan kencang dan gerimis yang mulai banyak membuat kami dan para pendaki lain mengurungkan niat untuk eksplorasi kawasan puncak, dan membatalkan rencana kami menuju puncak Merpati yang terkenal. Cuaca yang tidak memungkinkan lagi untuk kami tembus, akhirnya sekitar pukul 3 siang kami memutuskan untuk menyelesaikan pendakian Marapi ini.

Think before you go
Benar sekali. Pukul setengah 6, mulai gelap dan kami masih berada di kawasan pos 3 dan konyolnya tidak ada satupun dari kami yang membawa senter, sementara hp masing-masing sudah dalam posisi bersiap kehilangan kesadaran. Antara bodoh dan lucu, tapi kami bertiga berjalan menembus hutan dalam pekatnya malam, berjalan beriringan dengan menyalakan lampu layar hp dengan bergantian. Terkadang turun sambil merangkak untuk memastikan itu adalah jalan yang benar. Jangan berpikir hp kami adalah hp canggih saat itu yang sudah punya fitur senter didalamnya. kami hanya mengandalkan layar hp saja untuk berusaha menembus hutan gunung Marapi tersebut. Hingga akhirnya pertahanan terakhir, hp terakhir juga kehilangan kesadarannya karena dipaksa untuk aktif terus untuk menerangi jalan hingga hanya sinar bulan yang menembus sela-sela pohon di atas lah yang kami pakai untuk memperkirakan rute yang kita tempuh masih benar atau salah.

Saat asa sudah di ujung tanduk, di depan kami melihat kilatan-kilatan senter pendaki yang akan naik yang semakin lama semakin jelas dan terang. Alhamdulillah, setidaknya itu hiburan untuk kami yang mulai meragukan apakah rute kami adalah benar rute turun yang benar mengingat kami turun nyaris tanpa penerangan yang berarti. Saling sapa antara kami dan pendaki tersebut dan menceritakan keadaan kami. Pemimpin kelompok itu melihat kami sambil geleng-geleng, mungkin dikira kami terlalu berani, terlalu nekat, atau malah terlalu konyol untuk jalan dengan kondisi perlengkapan serba kekurangan seperti itu. hahaha...

Mereka menawari kami sebuah korek api gas yang memiliki ujung lampu led yang bisa dipakai untuk membantu menerangi perjalanan turun. Memang itu lah yang kami tunggu-tunggu. Korek api led tersebut sedemikian membantunya membuat semangat yang tadi sudah redup muncul lagi untuk melanjutkan perjalanan turun.

Pacet
Akhirnya kami sampai di titik awal pendakian yaitu jalan raya Padang-Bukittinggi. Senyum puas dan lega muncul dan menyemangati kami bertiga menuju mobil yang diparkir di MAN Koto Baru. Namun ada kejadian menarik saat akan berganti pakaian, ternyata ada seekor pacet menempel di betis kiri saya dan sudah menjadi pacet obesitas. Diperkirakan sang pacet sudah nempel sejak perjalanan naik dan mulai kenyang saat perjalanan turun. Celana saya basah dengan darah sendiri tanpa disadari ternyata. si Pacet gendut dengan santainya menjatuhkan diri setelah ketahuan masih nempel di betis... yah sudah lah, itu rejeki dek pacet.

Keluar dari MAN Koto Baru, kita singgah makan di warung pinggir jalan di seberang sekolah tersebut. Makan apapun rasanya enak sekali sesudah kekurangan makanan dan air sepanjang perjalanan. Badan mulai menghangat seiring mulai ada nya pembakaran karbohidrat. Di kepala cuma ada satu kata sesudah itu, Pulang...




Catatan.
Mendaki gunung adalah hal yang menyenangkan tapi bisa berubah mematikan jika tanpa persiapan dan perlengkapan yang memadai. Kami masih diberi kesempatan dengan tidak nyasar sepanjang jalan turun di Marapi. Hal itu yang membuat saya ke depannya sangat-sangat mementingkan faktor safety dalam setiap kegiatan luar ruangan saya. Mending batal ke puncak, daripada batal melanjutkan hidup yang diberikan oleh Allah SWT.



------------------------------



Tidak berapa lama kami sampai di rumah kembali, Fajar teman kita juga alias Jarblay, alias (yang dia lebih suka dipanggil) Jarjazz, mampir dan kembali mengajak jalan. Tujuan yang paling mungkin saat itu adalah pantai Air Manis. Sebuah pantai legenda dimana Malin Kundang terlihat membatu, bersujud memohon ampun ibunya setelah menjadi anak yang durhaka.

Tidak banyak yang bisa saya ceritakan disini selain layaknya pantai seperti banyak cerita di internet. Pantai ini bukan pantai yang ideal untuk berenang dikarenakan arusnya yang dianggap berbahaya. Namun yang unik adalah pulau pisang kecil yang bisa ditempuh dengan berjalan kaki jika laut sedang surut. Namun, jangan coba-coba jika laut sedang pasang. Konon katanya sudah beberapa kali kejadian orang hanyut karena mencoba menyeberang saat laut pasang.

Tertarik ke Padang?