Agaknya saya tidak begitu ingat lagi perjalanan yang ini. Dulu saya suka sekali join mailing list-mailing list pendaki, salahsatunya mailing list pendaki.com. Disana saya mendapat beberapa teman yang akhirnya bisa realisasi pendakian bersama.
Pendakian kita yang pertama itu mentarget gunung Sindoro. Agaknya kejadian ini sekitar tahun 2008 atau 2009. Pendakian ini gabungan dari anak-anak yang bergabung di mailing list pendaki.com dan teman-teman adik kelas SMA saya dulu yang saat itu masih kuliah di ITB.
Dari mailing list pendaki.com adalah yang bergabung Nanink dan adeknya Ichi dan sang suami Ricky, lalu ikut juga pak kepala sekolah (sekolah internasional di daerah jakarta selatan), namanya Way dan istrinya, serta tim ITB empat orang, Ajat, dan yang lain Masya Allah saya lupa nama-nama mereka, biar foto yang bicara.
Sekilas tentang legenda kedua gunung ini, secara singkat dapat dikatakan bahwa Sindoro dan Sumbing adalah sepasang kakak dan adik yang berubah menjadi Gunung. Awalnya pertengkaran antara kakak-adik membuat murka sang ayah sehingg memukul sang kakak sampai bibirnya menjadi Sumbing (Gunung Sumbing), hal itu malah semakin membuat sang kakak menjadi sakit hati dan kerap melawan hingga sang ayah mengutuknya menjadi sebuah gunung.
Sumbing yang memang ganas, setiap waktu marah dan mengamuk mengeluarkan lava dari perutnya sehingga sang adik memohon pada ayahnya untuk dapat menemani kakaknya dalam wujud gunung pula untuk meredakan amarah sang kakak. Atas ijin Tuhan, akhirnya sang adik pun berubah menjadi gunung Sindoro yang saat ini kita lihat berdampingan dengan kakaknya, gunung Sumbing.
Walau ada legenda lain yang menceritakan bahwa sindoro dan sumbing berasal dari sepasang kekasih, si-ndoro dan nyai-sumbing, tapi agaknya legenda ini kurang populer dibanding kisah kakak-beradik si-ndoro dan si-sumbing tadi.
Gunung Sindoro, bertamu pada si Adik
Pendakian pertama sesuai rencana awal adalah ke gunung Sindoro. Pada tahun itu suasana desa Kledung di jalan raya Wonosobo - Magelang sangat lah dingin. Berangkat dari Jakarta sore hari dan sampai di Kledung dini harinya. Begitu sampai, tidak banyak istirahat, kami langsung persiapan sarapan dan memulai trekking perdana menuju puncak Sindoro.
Sekitar tahun 2008, jalur menuju puncak Sindoro seingat saya masih tertutup dan menuju puncak di kanan kiri dari pos 3 menuju pos 4 yang mulai terbuka, banyak terlihat edelweis yang mekar alami dan belum banyak tangan jahil yang mencabutinya. Kami flyng camp di post 4 sebelum besok paginya menuju puncak Sindoro. Alhamdulillah kami sampai di puncak Sindoro, satu dari 3 "S" yang terkenal di tanah jawa, selain Sumbing dan Slamet.
Turun dan mengaso sebentar, Way dan istrinya melanjutkan perjalanan entah ke semarang, magelang atau yogyakarta. Memang dari awal Way hanya berniat untuk ikut pada satu gunung Sindoro saja. Akhirnya kami lanjut pindah basecamp hari itu juga ke Garung sambil melemaskan otot dan bersiap untuk menanjak lagi keesokan harinya.
Gunung Sumbing, ganasnya sang Kakak
Esoknya, kami sudah siap untuk mencoba mencapai puncak Sumbing. Sayang sekali, faktor kelelahan, kurang istirahat, begadang, kebanyakan ngobrol daripada tidur, hanya membuat kami hanya bertahan sampai pos 3 jalur sumbing. Saya sendiri pun tak luput dari masalah, yaitu badan yang mulai panas demam, tanda minta istirahat yang cukup pada hari itu.
Untungnya Ajat, berinisitif untuk mencoba mencapai puncak dengan mengikut rombongan lain yang berangkat ke puncak pada pagi dini hari dan berhasil. Setidaknya, ada lah satu diantara kami yang berhasil sampai ke puncak. Saya? ah, nanti juga bisa.
Memang salah satu alasan kami memutuskan untuk tidak mencapai puncak dikarenakan jadwal kereta kembali ke Jakarta cukup mepet, karena jika terjadi apa-apa di jalur pendakian, bisa-bisa kami tidak bisa sampai ke Jogja tepat waktu untuk mengejar kereta.
Lain kali Sumbing, lain kali kita bertemu lagi.
0 Comments