Lengkap Sudah Dengan Slamet


Lanjutan cerita gunung triple S ini, sesudah Sindoro dan Sumbing, akhirnya saya mendapatkan kesempatan juga menikmati gunung ini untuk melengkapi triple S.

Desember 2016 adalah bulan perjalanan ke Slamet, tepatnya tanggal 2, hari Jumat malam kami bergerak dari Jakarta. Kali ini tim yang jalan hanya tiga orang, yaitu saya, Jilly dan Rio (ini nama baru). Maka jalanlah kami di musim penghujan ini.



Keberangkatan akan menjadi hal yang tidak terlupakan untuk kami. Rio alias Manto alias Sumanto nyaris ketinggalan kereta yang dari Gambir karena telat berangkat dari arah Depok. Beruntung sekali saya dan Jilly mengusulkan Manto untuk menyusul via stasiun Jatinegara. Voila!!! we're so lucky! Manto berhasil join.

Dari tahap perencanaan, kami sudah memastikan untuk menggunakan fasilitas porter. meniscus tear ini terlalu beresiko untuk saya paksakan membawa peralatan lengkap seperti dulu lagi. Anti-ribet, kami langsung mencarter avanza setibanya di stasiun Purwokerto untuk mengantarkan kami ke Basecamp Bambangan. Setibanya di basecamp, kami menyempatkan diri untuk istirahat, sarapan dan peregangan ringan sebelum memulai pendakian. Tak lupa, seorang porter telah siap menunggu kami siap berangkat.

Pendakian ini adalah salah satu pendakian yang menarik. Di awal pendakian saat masih di areal perkebunan warga, angin bertiup sangat kencang hingga membuat atap seng pondok petani beterbangan. Cukup menegangkan melihat atap tersebut berputar-putar di udara sebelum akhirnya jatuh ke tanah. Dari cerita porter, memang daerah lereng tersebut suka banyak angin ributnya. Well, the fun begin saat kami meninggalkan areal perkebunan tersebut.

Dengan porter, kami memotong beberapa ruas jalanan kebun tersebut hingga bisa langsung ke pos 2, pondok Walang. dari sana kami lanjut ke pos 3 dan langung diguyur hujan deras. Beruntung di pos 3 ada banyak warung-warung penduduk untuk pendaki. kami bisa berteduh sambil menikmati beragam jajanan hangat.

Trek Slamet sering dibilang menantang. Wajar saja, banyaknya tanah merah yang membuat licin apalagi di musim penghujan ini yang embuat kita harus berjalan di lubang-lubang aliran air. Bonus pun hanya bisa dihitung dengan hitungan jari. Suara nafas layaknya truk berat di jalan menanjak terdengar saling bergantian. Memang menguras tenaga, tapi juga membuat kita berstrategi menghemat tenaga agar bisa mencapai puncak.

Perjalanan berlanjut. Pos demi pos kita lalui dengan harapan bisa sampai ke pos 7 sebelum sore. Namun Tuhan berkata lain, kami hanya diberi sampai pos 6, Samyang Rangkah karena angin bertiup sangat kencang hingga mengangkat atap seng dari shelter yang ada di pos 6 tersebut. Bagi yang ingin ke Slamet, perlu diketahui bahwa Slamet adalah gunung seribu dugaan untuk saya. Bisa terlihat cerah lalu tiba-tiba angin nya mengamuk dan menerbangkan seng-seng shelter di pos-pos yang ada. Pos 6 adalah pos yang cukup besar dan bisa menampung lebih dari 15 tenda walau beberapa posisi berada dalam posisi tanah miring, tapi cukup baik untuk berlindung dari angin kencang yang suka bertiup mendadak.

Seperti biasa, Jilly sampai lebih dahulu, diikuti oleh Manto dan mas porter. Saya? Biarkan mereka duluan menyiapkan minuman hangat saat saya sampai nanti saja. Hehehehe... Saya sampai di pos Samyang Jampang sudah mendekati pukul 6 sore. memang sore sekali dan memang jalannya terseok-seok demi kecintaan saya dengan area lutut ini. Dan benar saja, minuman hangat telah menunggu saya di tenda.

Ngobrol di tenda adalah hal yang paling menyenangkan. Sempit dan sesak dengan barang-barang, namun penuh tawa bercerita tentang perjalanan yang telah dilewati tadi. Tak terasa pukul 9 malam. Kami telah mengisi perut dengan makan malam, dan bersiap tidur agar bisa summit attack esok dini hari.

Pemandangan dari pos 7, Samyang Kendil




Foto-foto diatas adalah saat-saat kami melakukan summit attack. Kami mulai cukup telat. bangun pukul 4 pagi, jalan sekitar pukul 4.30 pagi. itupun kalau tidak dibangunkan oleh Jilly, mungkin yang lain akan memilih tidur sampai siang di tenda.

Sekitar pukul 6-an, alhamdulillah kami menginjakkan kaki di puncak gunung Slamet. Saya dan Jilly menamatkan Triple S, sementara Manto baru memulai his first S di Slamet.





























Puncak Slamet adalah puncak terbuka kalau dikira-kira sebesar setengah lapangan bola. Kawah tidak terlihat dari area puncak, namun ada jalan setapak untuk turun ke kawah Slamet yang tentu saja tidak kami tempuh mengingat perut yang sudah lapar minta kembali ke tenda dan makan.

Akhirnya setelah sarapan, kami memaksakan diri untuk packing pukul 9.00 pagi dengan harapan bisa sampai di basecamp bambangan sebelum gelap.






Setiap puncak memiliki keunikan, dan kegembiraan tersendiri yang tidak bisa saya lukiskan rasanya. Setiap puncak yang saya daki, membuat puncak-puncak lain memanggil saya untuk didatangi.

Sampai ketemu di cerita saya yang lain.